Kenapa Roti’O Harus Tetap Menerima Uang Tunai?
Kritik santai untuk kebijakan all cashless QRIS
Aroma kopi dan roti manis dari Roti’O memang bikin ngiler. Tapi belakangan, muncul keluhan dari pelanggan karena beberapa gerai mulai menerapkan pembayaran full cashless khusus QRIS tanpa menerima uang tunai rupiah.
Sekilas terlihat modern. Cepat. Praktis. Tapi benarkah kebijakan ini baik untuk semua pelanggan? Atau justru membuat sebagian orang terpinggirkan?
Uang tunai itu sah, dijamin Undang-Undang
Hal pertama yang perlu diingat: rupiah adalah alat pembayaran sah di Indonesia. Banyak masyarakat masih mengandalkan uang tunai sebagai alat transaksi sehari-hari.
Kalau kita datang ke sebuah toko, membawa uang tunai, tapi tidak bisa membeli barang karena harus QRIS saja, rasanya kok janggal.
Apalagi jika pembeli hanya ingin beli satu atau dua roti. Tidak semua orang punya e-wallet, sinyal stabil, atau kuota yang mencukupi.
Cashless bukan berarti menutup pintu untuk cash
Cashless memang memudahkan:
- cepat
- tanpa uang kembalian
- meminimalkan sentuhan fisik
- memudahkan pencatatan transaksi
Tapi kalau kebijakan cashless berubah menjadi wajib, justru terasa mengekang pilihan konsumen.
Konsumen harusnya diberi kebebasan menentukan cara bayar. Mau QRIS? boleh. Mau uang tunai? ya sah-sah saja.
Tidak semua orang sudah siap 100% cashless
Ada beberapa alasan logis kenapa menolak uang tunai kurang bijak:
- Tidak semua orang punya e-wallet atau mobile banking
- Terutama lansia atau pekerja kecil harian.
- Banyak daerah sinyalnya tidak stabil. Kadang antrean jadi macet karena koneksi pembayaran bermasalah.
- Cash itu simpel dan cepat. Bayar – terima kembali – selesai. Tidak perlu scan, refresh aplikasi, atau error sistem.
- Uang tunai adalah bentuk inklusi finansial. Menolak tunai = mengecilkan akses masyarakat tertentu.
Siapa yang dirugikan?
Jika kebijakan “QRIS only – no cash” diterapkan terus, beberapa pihak bisa ikut terdampak:
- pelanggan yang belum melek digital
- pelanggan yang tidak punya smartphone
- pelanggan yang kuotanya habis
- pekerja informal yang menerima upah harian tunai
- masyarakat kecil yang kebiasaannya cash
Bayangkan seorang pembeli membawa uang pas untuk beli roti, tapi harus batal hanya karena sistem pembayaran dibatasi. Padahal ia membawa alat pembayaran resmi negara.
Solusi kompromi yang lebih bijak
Roti’O tentu boleh terus mendorong cashless, tapi tetap menerima tunai sebagai alternatif. Misalnya:
- QRIS/tunai tanpa minimum pembelian
- kasir tetap sediakan uang kembalian
- sediakan signage ajakan non-cash tetapi bersifat pilihan, bukan kewajiban
- sosialisasi ke pelanggan dengan ramah
Dengan tetap menerima uang tunai, Roti’O menunjukkan kepedulian terhadap keberagaman pelanggan dan tetap sejalan dengan prinsip inklusi keuangan di Indonesia.
Pada akhirnya…
Cashless itu keren, modern, dan mempermudah. Tapi cash bukan berarti kuno.
Keduanya bisa berjalan berdampingan agar semua pelanggan merasa dihargai.
Sebagai brand besar dengan penggemar loyal, seharusnya Roti’O memberi kebebasan kepada konsumen untuk memilih pembayaran. Jangan sampai pelanggan batal beli hanya karena sistem pembayarannya dibatasi.
Karena pada akhirnya, yang paling sederhana adalah:
jika uang rupiah masih berlaku dan sah, kenapa harus ditolak?

Posting Komentar untuk "Kenapa Roti’O Harus Tetap Menerima Uang Tunai?"